
Ketua Komisi II DPRD Lampung Desak Pemerintah Pusat Evaluasi Kebijakan Serapan Jagung
Kebijakan pemerintah pusat yang mensyaratkan kadar air maksimal 14 persen dalam penyerapan jagung dinilai tidak berpihak pada nasib petani. Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Ahmad Basuki (Abas), meminta aturan ini segera dievaluasi karena dianggap memberatkan dan menjauhkan petani dari harga pembelian pemerintah (HPP) yang dijanjikan. “Petani jagung butuh perlindungan nyata, bukan persyaratan teknis yang justru membuat mereka kehilangan hak atas harga Rp5.500 per kilogram,” tegas Abas kepada wartawan, Senin (30/6). Lampung, menurutnya, merupakan salah satu dari enam provinsi penghasil jagung terbesar nasional. Namun petani di provinsi ini justru kesulitan menikmati HPP akibat aturan kadar air yang tidak realistis di lapangan. Ia menyoroti, pada Februari hingga April 2025 lalu, Bulog menyerap jagung petani dengan harga sesuai arahan Presiden tanpa syarat kadar air. Namun sejak Mei, serapan dihentikan karena adanya surat dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang mengatur kadar air maksimal 14 persen. “Sekarang petani kembali dibebani. Jagung pipilan hasil panen rata-rata punya kadar air 34 sampai 35 persen. Bagaimana mereka bisa menjual kalau aturan tidak berpihak?” tandas politisi PKB itu. Lebih lanjut, Abas menjelaskan bahwa pengeringan alami hanya bisa menurunkan kadar air sampai 17 persen. Sisanya butuh alat pengering (dryer) yang sangat terbatas jumlahnya di kalangan petani kecil, apalagi di musim hujan seperti sekarang. Ia pun membandingkan kebijakan pembelian padi yang tidak mensyaratkan kadar air tertentu. Menurutnya, semestinya pemerintah berlaku adil dan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap petani. “Petani padi bisa menikmati harga Rp6.500 tanpa syarat kadar air, kenapa petani jagung dipersulit? Jangan sampai program ketahanan pangan hanya dinikmati segelintir komoditas,”